Pada tahun 2025 antrian menunaikan ibadah haji di beberapa wilayah di Indonesia bisa sampai lebih dari 30 tahun. Artinya jika seseorang langsung mendaftar antrian haji pada saat pertama kali memenuhi persyaratan usia yaitu minimal 12 tahun, maka normalnya baru pada usia 42 tahun orang tersebut dapat menunaikan ibadah haji. Fenomena ini kemudian menimbulkan perbedaan pendapat, hingga ada seorang ulama negeri ini yang kemudian berpendapat bahwa untuk saat ini (tahun 2025) sudah tidak ada lagi kewajiban menunaikan ibadah haji bagi muslim Indonesia, wallohu a'lam.
Sedikit menafikan keadaan antrian tersebut, apakah boleh bagi seseorang yang sudah istitha'ah dalam pelaksanaan ibadah haji untuk menunda pelaksanaannya, ataukah wajib segera pada tahun tersebut untuk menunaikannya. Terkait hal tersebut terdapat perbedaan pendapat yaitu ada yang mewajibkan segera dan adapula yang membolehkan untuk menundanya di waktu kemudian, berikut pembahasannya.
Pendapat ulama yang mengatakan kebolehan menunda pelaksanaan haji
Diantara ulama yang mebolehkan untuk menunda pelaksanaan ibadah haji pada saat seseorang sudah istitha'ah adalah Imam Asy Syafi'i, Al Auza'i, Ats Tsauriy, Muhammad Bin Hasan. Imam Malik adalah salah satu ulama yang mewajibkan segera namun beliau memberikan kelonggaran dalam hal penundaanya selagi tidak dikhawatirkan hilangnya istitha'ah tersebut, namun apabila takut terlewatkan, maka wajib baginya untuk menyegerakan menunaikan ibadah haji.
Dan berikut adalah dalil tentang bolehnya penundaan dalam pelaksanaan ibadah haji
- Bahwa perintah kewajiban pelaksanaan ibadah haji adalah turun setelah tahun hijrah. Satu pendapat didasarkan pada tahun turunnya ayat 196 surat Al Baqarah ("dan sempurnakanlah haji serta umrah karena Alloh") yaitu pada tahun 6 hijriyah. Peristiwa lain yaitu peristiwa fathu Makkah atau penaklukan kota mekkah menurut satu pendapat adalah terjadi pada bulan Ramadhan tahun delapan hijriyah dimana kemudian Attab Bin Usaid menjadi gubernur pertama Kota Mekkah. Maka kemudian ummat muslimin menjalankan ibadah haji pada tahun 8 hijriyah berdasarkan perintah Rasulullah ï·º, adapun Rasulullah ï·º menetap di Madinah bersama keluarga serta kebanyakan para sahabat beliau ï·º.
- Perang Tabuk terjadi pada tahun 9 hijriyah,yang mana selesai sebelum haji Rasulullah ï·º. Maka beliau ï·º mengutus Abu Bakar radhiyallahu 'anhu untuk mengajak kaum muslimin menunaikan haji pada tahun 9 hijriyah. Sementara Rasulullah ï·º bersama keluarga serta kebanyakan sahabatnya yang tetap tinggal di Madinah mampu untuk menunaikan haji dan tidak disibukkan dengan peperangan ataupun yang lain
- Rasulullah ï·º mengakhirkan pelaksanaan ibadah haji yaitu baru pada tahun 10 hijriyah. Beliau ï·º menunaikannya bersama keluarga serta kebanyakan sahabatnya. Hal tersebut adalah menunjukkan tentang kebolehan mengakhirkan pelaksanaan ibadah haji.
- Perang Hunain terjadi setelah peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah ï·º kemudian membagi harta rampasan perang Hunain tersebut dan beliau ï·º menunaikan umrah dengan mengambil miqat dari Ji'ranah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Dzulqo'dah, meskipun sudah sedemikian hampir dengan bulan Dzulhijjah, namun beliau ï·º hanya menunaikan umrah tanpa menunaikan ibadah haji. Maka seandainya menunaikan ibadah haji menuntut kesegeraan pelaksanaannya pada saat telah istitha'ah, maka tentu beliau ï·º tak akan kembali ke Madinah dahulu hingga baru kemudian pada tahun 10 hijriyah beliau ï·º menunaikan ibadah haji.
- Pada peristiwa haji wada' yaitu pada tahun 10 hijriyah, beliau ï·º memerintahkan para sahabatnya yang belum membawa hadyu untuk bertahalul dan menjadikan ihram mereka sebelumnya sebagai ihram umrah. Para ulama mengatakannya bahwa ini adalah suatu hal yang sangat jelas menunjukkan tentang kebolehan mengakhirkan pelaksanaan ibadah haji, meskipun pada saat tersebut sangat mungkin untuk menyegerakannya.
- Bahkan kepada orang-orang yang menunda menunaikan ibadah haji bertahun-tahun, para ulama sepakat tetap menyebutnya orang yang "menunaikan ibadah haji" dan bukan menyebut mereka dengan orang yang "meng-qadha" ibadah haji. Tentunya seandainya menunda pelaksanaan ibadah haji pada saat telah istitha'ah tidak diperbolehkan, maka kepada mereka yang menunda pelaksanaannya akan disebut sebagai "meng-qadha" dan bukan melaksanakan ibadah pada waktunya atau yang kita kenal dengan istilah "aadaa'"
- Secara kaidah, sesungguhnya perintah mutlak yang tidak disertai keterangan-keterangan (qariinah) lain, tidaklah bermakna pelaksanaannya harus segera. Dan untuk dapat bermakna pelaksanaan perintah tersebut harus segera maka dibutuhkan keterangan atau dalil-dalin tambahan.
Pendapat ulama yang menyatakan pelaksanaannya harus segera setelah istitha'ah
- Ayat 196 surat Al Baqarah (yaitu "dan sempurnakanlah haji... dst") menyuratkan kata perintah. Sedangkan perintah tentunya bermkana harus segera dilaksanakan.
- Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata: bersabda Rasulullah ï·º "Barangsiapa ingin berhaji, maka hendaklah ia menyegerakannya, karena sesungguhnya ia bisa saja sakit, kehilangan hewan tunggangan, atau ada keperluan lain yang menghalanginya" diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Baihaqiy. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini adalah dha'if. Adapaun perintah agar menyegerakan pada hadits tersebut konteksnya adalah anjuran
- Hadits dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu berkata: bersabda Rasulullah ï·º: "barangsiapa yang telah memiliki bekal perjalanan serta kendaraan yang dapat menghantarkannya ke baitullah, kemudian dia tidak berhaji maka hendaknya ia mati dalam keadaan yahudi atau nasrani" hal tersebut dikarenakan Alloh subhanahu wa ta'ala telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 97 yaitu "maka karena Alloh, wajib bagi manusia untuk berhaji di baitullah, yaitu bagi orang yang mampu pada perjalanannya". Diriwayatkan oleh At Tirmidzi.
Tentang hadits ini sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini adalah dha'if. Terlepas dari derajat haditsnya, celaan yang tersurat pada hadits ini adalah ditujukan kepada orang yang menunda pelaksanaan ibadah haji hingga ia meninggal dunia.
Selain itu makna yang terkandung dalam hadits ini adalah barangsiapa yang menunda pelaksanaan ibadah haji dengan keyakinan bahwa ibadah haji adalah tidak wajib bagi mereka yang sudah istitha'ah, maka hal itu adalah salah satu bentuk kekafiran. Kekafiran tersebut dikuatkan dengan keterangan "maka meninggallah ia dalam keadaan yahudi atau ... dst". Meski demikian sudah menjadi ijma' bahwa orang yang meninggal dunia pada keadaan tersebut tidak dihukumi kafir, namun hanya sebatas sebagai seorang yang telah bermaksiat.
Wallohu A'lam
Sumber: Kitab Al Mughni Fi Fiqh Al Hajj Wa Al Umrah karya Syaikh Sa'id Ibnu Abdul Qadir Basyanfar