Wukuf Haji 2019

KBIHU Aisyiyah Kebumen

Melaksanakan ibadah haji serta mengunjungi dua kota suci yaitu Mekkah dan Madinah adalah impian sebagian besar umat muslim. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima, meski demikian melakukannya ada persyaratan yaitu bagi yang mampu. Kemampuan sendiri dapat diuraikan diantaranya adalah mampu, fisik, materi serta kondisi karena bukan tidak mungkin ada seorang muslim yang secara fisik ataupun materi dia mampu untuk menunaikan ibadah haji namun menjadi tidak bisa melakukannya dikarenakan kondisi semisal terjadi bencana, peperangan, ataupun keamanan di dalam perjalanan.

Sungguh bijak jawaban Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang keharusan untuk pelaksanaannya, yaitu "apakah setiap tahun wahai Rasulullah?". Hingga pertanyaan tersebut disampaikan tiga kali barulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawabnya dengan jawaban yang kurang lebih semakna dengan "Jika aku katakan: “Iya”, maka niscaya akan diwajibkan setiap tahun belum tentu kalian sanggup, maka biarkanlah apa yang sudah aku tinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian, akibat banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi mereka, maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah darinya sesuai dengan kemampuan kalian dan jika aku telah melarang kalian akan sesuatu maka tinggalkanlah"

Rukun ibadah haji diantaranya ada ihram beserta niat, wukuf di Arafah, tawaf di Ka'bah, sai pada Shafa dan Marwa, dan mencukur. Wukuf di arafah dapat dianggap sebagai puncak ibadah haji, hal tersebut dikarenakan belum dianggap menunaikan ibadah haji jika tidak melakukan wukuf di Arafah apapun kondisinya sehingga jamaah haji yang sedang terbaring lemahpun, dievakuasi ke Arafah agar dapat melaksanakan ibadah wukuf.

Wukuf adalah hadir dan berada di daerah mana saja di Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, baik pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub). Waktu dikatakan wukuf di Arafah adalah waktu mulai dari matahari tergelincir (waktu zawal) pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga waktu terbit fajar Shubuh (masuk waktu Shubuh) pada hari nahr (10 Dzulhijjah). Jika seseorang wukuf di Arafah selain waktu tersebut, wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama. Pada pelaksanaannya, jamaah haji yang wukuf sejak tergelincirnya matahari baru diperbolehkan untuk meninggalkan Arafah adalah setelah matahari terbenam.

Dengan idzin Allah saat kami yaitu rombongan jamaah haji KBIH Aisyiah tahun 2019 menunaikan ibadah wukuf di Arafah yaitu kurang lebih sekitar pukul 15.00 waktu setempat, Allah turunkan hujan serta angin yang cukup kencang bahkan beberapa kali terdengan bunyi gemuruh petir. Dalam hati berkata, beginikah suasana hujannya arafah yang sebelumnya saya pernah dengar dari cerita jamaah haji yang mengalaminya.

Allohumma shoyyiban naafingan, ya allah karuniakanlah kepada kami hujan yang membawa manfaat. Dan diantaranya waktu istijabahnya doa seorang muslim adalah saat turunnya hujan, Ya Allah kabulkanlah doa doa kami, karena engkaulah zat yang Maha mengabulkan doa

Jeruji atau pagar besi ini, bukanlah penjara. Di tempat inilah para jamaah haji dikumpulkan untuk untuk dibawa menuju Muzadlifah secara bergantian sesuai rombongan masing-masing. Informasi yang saya dengar dari pembimbing adalah, berdasarkan musyawarah bersama maktab, rombongan sesuai kloter dipindahkan secara bergantian yaitu siapa yang mendapatkan giliran pertama untuk dibawa ke Muzdalifah, maka kembalinya ke Mina akan mendapatkan antrian terakhir. Rasanya cukup adil, karena tidak ada yang akan merasakan selalu menjadi yang terakhir saat hendak dipindahkan dari satu tempat ke tempat selanjutnya. Dan Alhamdulillah rombongan kami mendapatkan giliran jika tidak salah adalah ketiga. Pembimbing kami yaitu Kiyai Haji Achmad Machrur memutuskan agar shalat Maghrib dan Isya di jamak di Arafah, meski tuntunan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah sholat tersebut dikerjakan di Muzdalifah dengan dijamak ta'khir. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari waktu yang akan terlalu malam di Muzdalifah, serta situasi dan kondisi yang menjadi sulit jika mengerjakannya di Muzdalifah.

Lebih baru Lebih lama